pelanggaran Etika Profesi Dalam Bidang Ahli Konstruksi

Maitsa Asyuara
1TA01 / 16317883

Pelanggaran Etika Profesi Dalam Bidang Ahli Konstruksi

Selama ini banyak sekali berbagai macam penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh profesional konstruksi sehingga banyak merugikan konsumen. Mulai dari kolusi, penipuan serta mutu produk konstruksi yang tidak memenuhi standar. Sebagian besar konsumen merasa tidak puas dengan hasil kinerja para profesional konstruksi.
Hal ini mendorong beberapa peneliti dan organisasi konstruksi di dunia untuk melakukan survey. Sehingga dari hasil survey tersebut dibuat beberapa peraturan/ kode etik untuk mengurangi keluhan ketidak puasan konsumen terhadap hasil produk konstruksi.
Konstruksi merupakan industri yang hasil produksinya digunakan oleh banyak orang. Dimana industri konstruksi sangat berhubungan dengan kepuasan dan keselamatan banyak orang.
Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the  performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni  pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsipprinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kodeetik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepenringan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999).
Contoh dari pelanggaran etika profesi dalam bidang konstruksi yaitu musibah robohnya bangunan yang menimbulkan korban jiwa belakangan ini makin kerap saja. Ketika hendak beranjak menyambut datangnya tahun baru beberapa waktu lalu, di Tanah Abang, Jakarta Pusat, empat nyawa melayang dan duabelas lainnya luka-luka akibat bangunan peturasan (toilet) tambahan di Pusat Grosir Metro Tanah Abang (PGMTA) yang sedang dibangun tiba-tiba runtuh dan menimpa mereka.
Musibah memang bisa saja terjadi, tapi kalau sudah menyangkut kecelakaan terkait pekerjaan mendirikan bangunan, tentu ada aturannya. Menyangkut ijin, ada perda yang mengatur tentang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) beserta perangkat Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan (DPPB) yang bertugas mengawasi jalannya pembangunan di wilayahnya.
Sedangkan menyangkut kompetensi penyedia jasa konstruksi (konsultan, kontraktor), kita mengenal adanya UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi beserta Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang bertugas mengklasifikasi, mengkualifikasi, mensertifikasi dan meregistrasi mereka, agar kompetensi yang dimiliki sang penyedia jasa dipastikan memadai dan sesuai dengan bidang pekerjaan yang ditangani.
Pelanggaran aturan biasanya akan mempunyai implikasi hukum. Terkait proses hukum atas kejadian di PGMTA, -karena hingga sekarang masih dalam tahap penyelidikan pihak kepolisian, tentunya kita masih harus sabar menunggu. Banyak kemungkinan yang bisa menjadi penyebab terjadinya musibah. Misalnya saja, karena kurangnya kompetensi para penyedia jasa yang terlibat, kesalahan atau kongkalingkong prosedur perijinan, minimnya pengawasan atau bisa juga karena gabungan dari berbagai sebab tersebut. Biarlah para penegak hukum yang nanti memutuskan.
Namun, ada satu hal yang masih mengganjal. Bagaimana dengan etika profesi dari para ahli konstruksi yang terlibat dalam proyek itu? Karena tidak mungkin rasanya, jika mereka tidak tahu, bahwa ada risiko besar yang mengancam keselamatan publik dalam pekerjaan pembangunan ”peturasan gantung” itu, apalagi dengan dibiarkannya orang lalu lalang dibawahnya.
Patut pula rasanya, jika masyarakat kemudian menduga-duga, bahwa risiko diambil demi menimbulkan keuntungan tertentu. Tetap berjalannya proyek tanpa adanya ijin, misalnya. Begitupula dengan tidak ditutupnya jalan di bawah pekerjaan proyek. Bukankah penyedia jasa sejatinya adalah pihak yang paling mengerti akan aspek teknis bangunan yang dikerjakannya?. Pertanyaan besarnya kemudian, mengapa proyek terus dikerjakan meski ada bahaya di depan mata?  
  
Dalam suatu kompetisi usaha yang ketat seperti sekarang ini, semua pengusaha tampaknya memang  harus saling berpacu satu sama lain demi mendapatkan kesempatan (opportunity) dan keuntungan (profit). Sayangnya, kadangkala dalam upaya meraih kesempatan dan keuntungan tadi, mereka memutuskan untuk menghalalkan segala cara tanpa mengindahkan apakah ada pihak yang dirugikan atau tidak. Etika profesi yang seharusnya dijunjung tinggi, diabaikan. Bahkan nurani pun, sementara dibutakan. Bila sudah begini, bukan saja etika yang mesti dipertanyakan, tapi juga moral.
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka etika adalah rambu-rambu yang disepakati secara sukarela oleh semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral seharusnya mampu mengembangkan etika (rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang berimbang, selaras, serasi dan juga bertanggungjawab terhadap masyarakat luas.
Perlu diingat bahwa dalam praktik bisnis jasa konstruksi sehari-hari, dikenal apa yang disebut etika profesi. Etika profesi ini, seharusnya bisa menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Terkait dengan kejadian di PGMTA, berbicara tentang etika profesi tentu ditujukan kepada para individu ”profesional” yang terlibat dalam proyek yang kabarnya tak berijin itu, serta kode etik yang telah dibangun oleh komunitasnya, dalam hal ini biasanya berupa asosiasi profesi tenaga kerja konstruksi.
Kode etik profesi merupakan aturan tertulis tentang norma moral yang dirumuskan oleh asosiasi profesi. Ibarat kompas, kode etik profesi menjadi pedoman mengenai apa yang benar dan tidak benar, baik dan tidak baik, dalam seseorang melakukan pekerjaan sesuai profesinya. Tujuan kode etik adalah agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pihak pengguna jasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan Yang Bertahan Dengan Puisi

SENJA